DaerahTabanan

Bali Hadapi Krisis Tata Ruang: Lahan Basah Menyusut dan Subak Jatiluwih Terancam, Investasi Diingatkan Hormati Budaya

Newtvkaori.com | DENPASAR – Ditengah meningkatnya tekanan pembangunan, kekhawatiran terbesar Bali kini bukan sekadar hilangnya lahan basah, tetapi hilangnya identitas budaya yang menjadi dasar pengakuan dunia terhadap Pulau Dewata. Desakan penegakan tata ruang kembali menguat setelah berbagai temuan pelanggaran di kawasan subak dan jalur hijau, termasuk di kawasan Warisan Budaya Dunia (WBD) Subak Jatiluwih.

Sekretaris Komisi I DPRD Bali, I Nyoman Oka Antara, menegaskan bahwa lahan basah dan subak bukan sekadar zona pertanian, melainkan fondasi peradaban Bali yang diakui dunia.

“Kalau itu memang lahan basah udah nggak bisa ditawar-tawar lagi itu. Apalagi (seperti Jatiluwih) sudah diakui UNESCO khan. Jadi, itu mesti harus diamankan,” tegasnya.

Inspeksi Pansus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP) menemukan pelanggaran di berbagai titik, termasuk kawasan yang seharusnya dilindungi ketat. Oka menyebut Tabanan, khususnya Jatiluwih, menjadi salah satu fokus utama.

“Seluruh Bali-lah. Tabanan juga target selanjutnya, terutama di Jatiluwih,” ujarnya.

Identitas Budaya Bali di Ujung Tanduk

Pelanggaran tata ruang bukan hanya persoalan administrasi. DPRD menilai tren pembangunan yang mengabaikan budaya lokal berpotensi mengikis identitas Bali. Oka menegaskan bahwa investasi tidak boleh menjadi alasan untuk mengorbankan tatanan budaya.

“Investor oke, welcome. Tapi kjan dia harus menghormati budayanya orang Bali. Jangan sampai dia datang ke Bali, dia bawa budayanya sendiri,” terangnya.

Kekhawatiran serupa disampaikan berbagai akademisi dan tokoh pariwisata yang menyoroti risiko turunnya mutu lansekap budaya Bali akibat pembangunan yang tidak terkendali.

Risiko Pencabutan Status UNESCO Menghantui Jatiluwih

Ketua DPRD Tabanan, I Nyoman Arnawa, sebelumnya sudah meminta penindakan tegas terhadap 13 bangunan akomodasi pariwisata ilegal yang ditemukan berdiri di tengah sawah Jatiluwih. Pembangunan baru yang mengambil badan jalan juga ditemukan saat sidak. “Saya minta segera ditertibkan kalau itu melanggar agar dibongkar,” tegas Nyoman Arnawa.

Forum Penataan Tata Ruang (FPTR) Tabanan bahkan telah memetakan pelanggaran dari jalur hijau hingga kawasan Batukaru sebagai wilayah inti lansekap WBD Catur Angga Batukaru.

Jika pelanggaran terus terjadi, Bali dianggap berisiko menghadapi evaluasi ketat UNESCO, termasuk kemungkinan peninjauan ulang status WBD Subak Jatiluwih.

Alih Fungsi Lahan Meningkat, Kesejahteraan Petani Jadi Faktor Kunci

Masalah lain muncul dari sektor agraria. Ketua Komisi II DPRD Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih, menyoroti alih fungsi sawah yang dipicu rendahnya kesejahteraan petani. Ia mendorong kebijakan pembelian hasil bumi lokal untuk menahan laju konversi lahan.

“Setahu saya jumlah produksi beras kita masih surplus. Yang perlu dipertahankan itu sawah di daerah padat penduduk dan dataran rendah agar masih ada resapan air,” ujarnya.

Data BPN menunjukkan Bali telah kehilangan 6.521,81 hektare sawah dalam lima tahun.

Seruan Tegas: Penegakan Sekarang, Sebelum Terlambat

Di tingkat nasional, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana dan Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan menyoroti bahwa keberlanjutan pariwisata mustahil tercapai tanpa tata ruang yang tegas.

“Pertumbuhan ekonomi tidak akan berarti bila kita tidak serius membenahi Bali,” paparnya.

Dengan tekanan publik yang meningkat dan risiko pencabutan status WBD, DPRD Bali memastikan penegakan tata ruang tidak boleh lagi kompromi. (red).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *